Industri penerbangan domestik Indonesia berpotensi menghadapi guncangan besar jika rencana kereta cepat Jakarta-Surabaya dengan waktu tempuh tiga jam benar-benar terealisasi. Proyek ambisius yang diprediksi dapat memangkas waktu perjalanan Jakarta-Surabaya dari 10 jam menjadi hanya 3 jam ini bukan sekadar impian teknologi, melainkan ancaman nyata bagi dominasi maskapai penerbangan pada rute tersibuk di Indonesia.
Presiden RI saat ini telah memerintahkan kelanjutan proyek kereta cepat Whoosh hingga Surabaya, menandai babak baru dalam transformasi transportasi nasional. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan RI saat ini menegaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan framework regulasi baru untuk mendukung terlaksananya proyek ini.
Secara teknis, tiga alternatif rute telah dipertimbangkan oleh Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), lintas selatan melalui Kroya dan Yogyakarta (629,5 km), lintas tengah melalui Cirebon dan Purwokerto (679,2 km), dan lintas utara melalui Cirebon dan Semarang (642 km). Konsultan KCIC merekomendasikan lintas selatan sebagai opsi utama karena dapat memangkas waktu tempuh menjadi 3 jam, dengan pembangunan bertahap mulai dari Tegalluar-Yogyakarta-Solo pada 2029 dan dilanjutkan ke Surabaya pada 2033.
Ancaman Eksistensial bagi Industri Penerbangan
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Juli 2024, Bandara Juanda Surabaya melayani 519.000 penumpang domestik, menjadikannya bandara tersibuk kedua setelah Soekarno-Hatta yang mencatat 1,6 juta penumpang. Rute Jakarta-Surabaya merupakan destinasi dengan jumlah penumpang tertinggi dari Bandara Juanda, mencapai 63.000 penumpang dalam periode enam hari pada Januari 2025, dengan 46.000 penumpang menuju Soekarno-Hatta dan 17.000 ke Halim Perdanakusuma.
Struktur pasar penerbangan domestik saat ini didominasi Lion Air Group dengan pangsa pasar 62-64,5%, sementara Garuda Group menguasai 26-27%. Dengan load factor penerbangan domestik mencapai 75% pada Januari 2025, rute Jakarta-Surabaya menjadi salah satu yang paling menguntungkan bagi maskapai.
Namun, pengalaman internasional memberikan gambaran suram tentang nasib penerbangan ketika berhadapan dengan kereta cepat. Di China, penelitian komprehensif yang melibatkan 138 rute selama periode 2007-2013 menunjukkan bahwa kehadiran layanan kereta cepat mengakibatkan penurunan penumpang pesawat sebesar 27% secara umum, bahkan mencapai 31,8% pada beberapa rute. Yang lebih mengkhawatirkan, dampak negatif ini cenderung menguat seiring berjalannya waktu, setelah dua tahun beroperasi, substitusi kereta cepat terhadap penerbangan semakin signifikan.
Pelajaran dari Eropa, Ketika Maskapai Tumbang
Pengalaman Italia memberikan peringatan keras bagi industri penerbangan Indonesia. Maskapai bendera Italia, Alitalia Airlines, resmi tutup pada 14 Oktober 2021 setelah 74 tahun beroperasi. Penyebab utamanya? Persaingan brutal dari operator kereta cepat Frecciarossa dan Nuovo Trasporto Viaggiatori yang secara sistematis menggerus pangsa pasar Alitalia selama 11 tahun.
Ronny Mangiring, pengamat transportasi, menjelaskan bagaimana kereta cepat Italia menjadi “predator” yang membunuh Alitalia secara perlahan. “Dengan peningkatan penumpang rata-rata 7 persen per tahun, sangat bisa dipahami mengapa kereta cepat di Italia mendadak menjadi predator yang membuat Alitalia Airlines berada di posisi korban sebelas tahun kemudian,” ungkapnya.
Di Prancis, TGV telah mendominasi transportasi jarak jauh dengan mengangkut 54 miliar penumpang-kilometer pada 2012, empat kali lipat lebih banyak dari transportasi udara domestik. Akibatnya, tidak ada lagi penerbangan antara Brussels-Paris, Strasbourg-Paris, dan Paris-Lyon setelah pembukaan jalur TGV. Bahkan pemerintah Prancis telah melarang penerbangan domestik untuk rute di bawah 2,5 jam yang dapat digantikan kereta cepat.
Keunggulan Kompetitif yang Menghancurkan
Kereta cepat memiliki sejumlah keunggulan struktural yang sulit ditandingi pesawat pada jarak menengah (500-800 km). Pertama, efisiensi waktu door-to-door. Meskipun pesawat Jakarta-Surabaya hanya membutuhkan 1,5 jam flight time, total waktu perjalanan door-to-door bisa mencapai 4-5 jam karena harus tiba di bandara 1-2 jam sebelumnya, belum termasuk waktu perjalanan dari pusat kota ke bandara.
Kedua, keunggulan lokasi strategis. Stasiun kereta umumnya berada di pusat kota, berbeda dengan bandara yang berlokasi di pinggiran. Hal ini memberikan kemudahan akses yang signifikan bagi penumpang.
Ketiga, efisiensi energi yang mencolok. Studi internasional menunjukkan kereta cepat memiliki efisiensi energi 8,5 kali lebih tinggi dibandingkan pesawat dan dapat mengangkut 8,5 kali lebih banyak penumpang dengan konsumsi energi yang setara. Data dari INFRAS/IWW menunjukkan konsumsi energi kereta cepat hanya 2,5 liter premium per 100 penumpang-km, sementara pesawat membutuhkan 7 liter.
Keempat, dampak lingkungan yang minimal. Kereta cepat menghasilkan emisi CO2 hanya 4 ton per 100 penumpang-km, jauh di bawah pesawat (17 ton) dan mobil (14 ton). Penelitian terbaru bahkan menunjukkan pesawat menghasilkan emisi CO2 hingga 100 kali lebih banyak per jam dibandingkan kereta.
Jika kereta cepat Jakarta-Surabaya beroperasi dengan waktu tempuh 3 jam, industri penerbangan akan menghadapi disruption yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Dengan estimasi 63.000 penumpang per hari yang diproyeksikan menggunakan kereta cepat, sebagian besar akan berasal dari perpindahan pengguna pesawat yang saat ini mengangkut lebih dari 500.000 penumpang bulanan di rute Jakarta-Surabaya.
Pakar transportasi Djoko Setijowarno memperingatkan, “Di banyak negara, keberadaan kereta cepat mampu mengalihkan pengguna pesawat terbang. Ini tantangan untuk kereta cepat kita. Jika tidak direncanakan matang, peminat kereta cepat tentu tak akan sesuai target yang diharapkan semua pihak”.
Dampak pada struktur pasar akan sangat signifikan. Lion Air Group yang saat ini menguasai 62% pasar domestik dan Garuda Group dengan 27% akan mengalami tekanan revenue yang substansial. Mengingat rute Jakarta-Surabaya merupakan salah satu yang paling menguntungkan, penurunan penumpang akan berdampak langsung pada profitabilitas kedua grup maskapai tersebut.
Strategi Survival dalam Era Baru
Menghadapi ancaman ini, maskapai penerbangan perlu melakukan transformasi radikal. Beberapa strategi yang dapat diadopsi antara lain, fokus pada segmen premium dan bisnis yang masih menghargai kecepatan mutlak pesawat. Meskipun kereta cepat lebih nyaman untuk perjalanan leisure, eksekutif yang tight schedule mungkin tetap memilih pesawat.
Kemudian melakukan integrasi intermodal seperti yang dilakukan Air France-KLM dengan TGV. Alih-alih bersaing, maskapai dapat berkolaborasi dengan operator kereta cepat untuk menghadirkan seamless journey bagi penumpang.
Lalu melakukan restrukturisasi jaringan dengan mengalihkan slot Jakarta-Surabaya ke rute-rute internasional yang lebih profitable dan tidak dapat digantikan kereta.
Selanjutnya adalah melakukan inovasi layanan dan pengalaman untuk menciptakan diferensiasi yang tidak dapat ditiru kereta, seperti layanan premium end-to-end atau paket wisata terintegrasi.
Realisasi kereta cepat Jakarta-Surabaya tidak hanya akan mengubah landscape transportasi, tetapi juga struktur ekonomi regional. Proyek ini diproyeksikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3% pada daerah yang dilalui. Namun, di sisi lain, industri penerbangan yang menyerap jutaan tenaga kerja dari pilot, cabin crew, hingga ground handling akan menghadapi tekanan untuk rightsizing.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional menekankan pentingnya mempelajari kesalahan dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, “Tidak mencari siapa yang salah, tapi kita belajar dari kesalahan kita karena saya terlibat di situ juga dulu”. Pelajaran ini krusial mengingat kompleksitas teknis dan finansial yang dihadapi.
Saat ini Indonesia berada di persimpangan sejarah transportasi. Kereta cepat Jakarta-Surabaya dengan waktu tempuh 3 jam bukan hanya akan mengubah cara orang bepergian, tetapi juga menentukan masa depan industri penerbangan domestik. Pengalaman internasional dari kehancuran Alitalia di Italia hingga dominasi TGV di Prancis memberikan gambaran jelas tentang kekuatan disruptif kereta cepat.
Bagi industri penerbangan, ini bukan lagi soal jika disruption akan terjadi, tetapi kapan dan seberapa cepat mereka dapat beradaptasi. Masa depan akan ditentukan oleh kemampuan maskapai untuk berinovasi, berkolaborasi, atau dalam kasus terburuk bertahan hidup dalam lanskap transportasi yang telah berubah permanen.
Dengan target penyelesaian tahap pertama pada 2029 dan penyelesaian penuh pada 2033, industri penerbangan memiliki jendela waktu terbatas untuk mempersiapkan strategi survival. Pertanyaannya bukan lagi apakah kereta cepat akan mengubah segalanya, tetapi apakah maskapai Indonesia siap menghadapi revolusi yang akan datang.


